Ja’far bin Abi Thalib

 

Ja’far bin Abi Thalib

Ja’far bin Abi Thalib memiliki nasab Ja’far bin Abi Thalib  bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. abi Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas dan Muhammad bin Abdullah. Ja’far adalah pejuang yang mati syahid di perang Mut’ah. Ja’far dijuluki sang burung surga yang berkicau. Rasulullah juga memberi gelar Ja’far bin Abi Thalib Abul masakin yang artinya bapak orang-orang miskin. Julukan Ja’far bin Abi thalib lainnya adalah Dzul janahain yang artinya pemilik dua sayap. Ja’far bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Dia juga kakak dari khulafaur rasyidin keempat Ali bin Abi Thalib. Ja’far sejak dini diasuh oleh pamannya Abbas hingga ia dewasa, lalu kemudian dia masuk Islam. Ja’far bin Abi thalib  dan istrinya , Asma bin Umais menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Ab Bakar Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al Arqam.  Kabar keislaman Ja’far dan Asma membuat mereka disiksa oleh kaum Quraisy. Namun, mereka tetap berpegang teguh pada agama Allah dan setia menjadi pengikut Rasulullah. Saat Rasulullah mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Habasyah (sekarang Etiopia), Ja’far dan istrinya ikut hijrah dan tinggal di sana selama beberapa tahun.

Ja’far dan istrinya menerima penyiksaan dari kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka mengucapkan kata-kata “Rabbunallaah” (Rab kami hanyalah Allah). Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy. Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib Mereka merasa lega di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan saleh. Sejak mereka masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah. Kepergian Ja’far ke Habasyah, membuat Rasulullah sangat rindu dengan sahabat sekaligus sepupunya itu.

Pada tahun ke tujuh hijrah, kedua Ja’far dan isterinya meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. baru saja pulang dari Khaibar. Hati Rasulullah diliputi kegembiraan karena kedatangan Ja’far. Dia langsung merangkul Ja’far .”Aku tidak tahu dengan yang mana aku lebih bergembira, penaklukan Khaibar atau kedatangan Ja’far,” kata Rasulullah, seperti dikutip dari buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah SAW karya Khalid Muhammad Khalid. Kedatangan Ja’far bin Abi Thalib di Yatsrib juga menjadi kabar gembira bagi kaum muslimin pada umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ja’far sangat penyantun dan banyak membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan hijriah Rasululalh Shallallahu alaihi wassalam. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan. Rasululalh Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.  Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih. Asma’ bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau berkata, “Mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.” Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab, “Ya …, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya, “Wahai Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah Ja’far bagi isterinya.” Kemudian kata beliau selanjutnya, “Aku melihat sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya.”