Kisah Nabi Musa bertemu Nabi Khidir

 

Kisah Nabi Musa bertemu Nabi Khidir

Kisah ini bermula saat Nabi Musa alaihis salam ditanya oleh kaum Bani Israil tentang manusia yang paling alim di muka bumi. Dijawab oleh Nabi Musa, “Tidak ada lagi yang paling alim di muka bumi selain aku.” Akibat jawaban itu, Nabi Musa ditegur Allah. Tak hanya itu, Allah juga menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya, aku memiliki seorang hamba di pertemuan dua samudera yang lebih alim darimu.” Nabi Musa menjadi penasaran, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bertemu dengannya?” Allah menjelaskan, “Bawalah olehmu seekor ikan. Lalu simpan dalam keranjang. Di mana ikan itu menghilang, di sanalah hamba itu berada.” Hamba dimaksud tak lain adalah Nabi Khidir alaihis salam 

Singkatnya kisah, Nabi Musa mengambil seekor ikan lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah itu, dirinya berangkat ditemani seorang pemuda muridnya yang bernama Yusya‘ ibn Nun. Tibalah keduanya di sebuah batu besar. Tetapi bermaksud untuk merebahkan kepala sejenak, keduanya justru tertidur. Sementara ikan yang ada dalam keranjang mulai meronta, hingga akhirnya keluar dan terjatuh ke lautan. Kejadian ini pun diabadikan dalam Al-Quran dalam Surat Al-Kahfi, “Lalu ikan itu melompat dan mengambil jalannya ke laut.” Ketika Nabi Musa terbangun, kawannya lupa mengabarkan kepadanya tentang keberadaan ikan. Keduanya justru melanjutkan perjalanannya selama sehari semalam. Keesokan harinya, Musa baru berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” Semula memang Nabi Musa seperti yang tidak mendapati rasa letih, hingga tibalah di tempat yang diperintahkan Allah dan bertanya demikian. Muridnya lantas menjawab, “Tahukah engkau tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (bercerita tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakanku kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang sangat aneh.”

Benar sekali, ikan itu mengambil jalannya di laut, sehingga Musa dan muridnya pun terheran-heran. Musa kembali berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Akhirnya, keduanya pun kembali. Mengikuti jejak mereka semula, hingga sampai lagi di tempat semula. Tiba-tiba ada seorang pria yang berselimutkan sebuah kain. Musa pun mengucap salam dan dijawab oleh pria berselimut yang belakangan dikenali sebagai Khidir itu, “Bagaimana salam di tempatmu?”  Musa lalu memperkenalkan diri, “Aku adalah Musa.” Ditanya oleh Khidir, “Apakah Musa kaum Bani Israil?” Musa menjawab, “Benar. Aku menemuimu agar engkau mengajariku sebuah ilmu.” Kemudian, Musa meminta izin untuk mendampingi dan mengikuti Khidir. Namun, keinginannnya itu diragukan oleh hamba saleh itu, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku, wahai Musa, sebab aku memiliki sebuah ilmu Allah yang telah diajarkan kepadaku, namun tidak engkau ketahui. Begitu juga engkau memiliki ilmu Allah yang telah diajarkan-Nya kepadamu, tetapi tidak aku ketahui.” Musa pun berusaha meyakinkan Khidir, “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”  Secara tidak langsung, Khidir menjanjikan kepada Musa bahwa kemampuannya untuk bersabar ditentukan oleh perkenan dan kehendak Allah. Tak lupa, sang hamba memberi persyaratan kepada Musa agar tidak bertanya apa-apa kepadanya sampai dirinya menjelaskan semua alasan di balik apa yang dilakukannya. “Jika engkau mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” Berjalanlah Nabi Musa dan Nabi Khidir menyusuri pinggiran pantai. Saat ingin menyebrangi pantai yang lain, keduanya mendapati kapal kecil yang tengah mengangkut para penumpang. Untungnya, para awak kapal telah mengenali Khidir. Singkatnya, mereka pun membawa Khidir dan Musa menuju pantai yang dituju tanpa diminta imbalan apa pun.  Di saat demikian, keduanya melihat seekor burung yang hinggap di pinggir kapal. Lalu sang burung meminum sedikit air laut dengan paruhnya. Khidir berbisik kepada Musa, “Demi Allah, tidaklah ilmuku dan ilmumu di sisi Allah kecuali seperti air laut yang diambil burung itu dengan paruhnya.” 

Saat keduanya berada di dalam kapal, Nabi Musa merasa heran luar biasa karena melihat Khidir melubangi kapal tersebut dengan melepas salah satu papannya. Musa pun lupa dan ingkar akan janjinya. Dalam pikirnya, setiap kerusakan di muka bumi adalah kejahatan. Dan kejahatan lebih berat lagi karena dilakukan kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepada dirinya.  Nabi Musa lantas menanyakannya, “Mengapa engkau melubangi perahu itu yang akibatnya akan menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah berbuat satu kesalahan besar.” Di sana Khidir mengingatkan Nabi Musa akan janjinya, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’” 

Pertanyaan Nabi Musa yang pertama dilakukannya karena lupa, sebagaimana yang disampaikan dalam Rasulullah saw. Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Namun, Nabi Musa kembali melihat keanehan yang dilakukan Khidir saat mengambil seorang anak kecil yang sedang lucu-lucunya dan aktif bermain, kemudian menidurkannya. Anak itu lalu disembelih dan kepalanya dipisahkan dari tubuhnya. Melihat hal itu, lagi-lagi Musa tak mampu bersabar. Ia kembali mengingkari janjinya. Padahal, dirinya tahu akan janji yang telah disampaikannya, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu yang mungkar.” 

Khidir pun melontarkan teguran yang sama kepada Musa, “Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan mampu sabar bersamaku.” Di sini Musa pun menyadari jika dirinya tidak akan mampu lama-lama menemani Khidir, sang hamba yang saleh itu. Ia tak kuasa melihat setiap kejadian yang dialaminya, sementara dirinya terdiam. Keadaan itu kembali kepada dua hal.  Pertama, kembali kepada tabiat Musa. Sebagai sosok yang berjiwa pemimpin, Musa mungkin sudah terbiasa kritis atas setiap apa yang telah dilihatnya. Di saat yang sama, ia tidak terbiasa berdiam diri ketika melihat perkara yang tidak disukainya.  

Kedua, syariat Musa tidak membenarkan pembunuhan terhadap seorang anak, kemudian membiarkan pembunuhnya, bagaimana pun keadaan pelakunya. Artinya, dalam hal ini, Nabi Musa mengakui kesalahan yang dilakukannya terhadap Khidir. Karenanya, ia kembali meminta kesempatan yang ketiga dan berjanji, jika kembali bertanya sesuatu, dirinya berhak untuk berpisah dan ditinggalkan Khidir. Mereka pun melanjutkan perjalanan sampai di suatu kampung yang penduduknya kikir. Mereka berdua mencari orang-orang yang berkenan menjamu. Namun, tidak mendapatinya seorang pun. Meski demikian, Khidir tetap memperbaiki sebuah dinding rumah di kampung tersebut yang nyaris roboh. Lagi-lagi merupakan perkara aneh. Mereka diketahui sebagai kaum yang kikir, namun Khidir mau memperbaiki dinding rumah mereka tanpa mendapat imbalan apa pun.  Di sinilah Musa sudah memilih untuk berpisah dengan Khidir. Hal itu ditunjukkan dalam pertanyaannya tentang alasan mengapa Khidir mau memperbaiki rumah para penduduk kampung itu tanpa imbalan sedikitpun. Padahal, dari mereka tidak ada yang mau menyambut dan menjamu. 

Seandainya, Musa bersabar dalam mendampingi Khidir, tentu Nabi Musa akan mendapatkan banyak keajaiban dan rahasia yang dialaminya. Sayangnya, Nabi Musa memilih berpisah setelah Nabi Khidir menjelaskan rahasia di balik semua yang dilakukannya.  “Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Maka, aku bermaksud membuatnya cacat karena di hadapan mereka ada seorang raja (zalim) yang merampas setiap perahu (yang terlihat masih bagus),” jelas Nabi Khidir pada Musa. “Adapun anak (yang aku bunuh) itu, kedua orang tuanya mukmin dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya untuk durhaka dan berbuat kufur.” 

“Maka, kami menghendaki bahwa Tuhan mereka menggantinya (dengan seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).”

“Adapun dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota tersebut dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sedangkan ayah mereka orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya berdasarkan kemauanku (sendiri). Itulah makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya,” pungkas Khidir. 

Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir ini pun diabadikan Al-Qur’an dalam Surat al-Kahfi mulai ayat 61 sampai ayat 82. Kisahnya diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dalam “Kitab al-‘Ilm” dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay ibn Ka‘b, tepatnya dalam “Bab Mā Dzukira Dzahāb Mûsā fi al-Bahr ilā al-Khidir,” juz I, halaman 168, nomor hadits 74. Diriwayatkannya pula dalam “Bāb al-Khurūj fî Thalab al-‘Ilm”, juz I, halaman 174, nomor hadits 78, dan dalam “Bāb Mā Yustahabb li al-‘Ālim Idzā Su’ila Ayyu al-Nās A’lam? Fayakilu al-‘Ilm ilāllāh,” juz I, halaman 217, nomor hadits 122.

Hikmah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir Dari kisah di atas ada sejumlah pelajaran yang dapat dipetik: 

  1. Kita sangat dianjurkan untuk berdiskusi atau berdialog dalam urusan ilmu. 
  2. Seorang alim diwajibkan menyebarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. 
  3. Perjalanan menuntut ilmu merupakan perjalanan istimewa. Nabi Musa sendiri menempuh perjalanan yang cukup melelahkan demi menemui seorang yang lebih alim dari dirinya. 
  4. Kedudukan dan keutamaan dirinya tidak sampai menghalangi Musa untuk menemui dan mengikuti orang yang diharapkannya memberikan ilmu. 
  5. Kita disyariatkan untuk melayani dan mengabdi kepada ahli ilmu dan pemilik keutamaan. Yusya ibn Nun, misalnya. Ia mengabdi kepada Musa. Begitu pula Anas ibn Mālik juga melayani Rasulullah saw. 
  6. Seorang hamba diperkenankan bercerita rasa lelah,  kesulitan yang dialami, atau keadaan penyakit, dengan catatan tidak membenci atau menyalahkan takdir yang telah ditetapkan untuk dirinya.
  7. Khidir tidak mengetahui perkara gaib kecuali yang telah diberitahukan Allah kepadanya.  
  8. Kisah di atas meyakinkan kepada kita bahwa Allah maha kuasa untuk menghidupkan sesuatu yang sudah mati, seperti menghidupkan ikan yang dibawa Nabi Musa.
  9. Melalui hadits itu, kita diajarkan untuk tetap bersikap lemah lembut kepada pengikut atau pelayan kita. Contohnya sikap Nabi Musa terhadap muridnya yang lupa mengabarkan akan hilangnya ikan.  
  10. Nabi Khidir telah melubangi kapal dan membunuh seorang anak. Namun kemudian dikabarkan bahwa apa yang dilakukannya semata-mata perintah dan kehendak Allah sebagai bentuk kasih sayang-Nya. 
  11. Seorang yang bermaksud mengerjakan sesuatu di masa yang akan datang, disunnahkan mengucap “insya Allah,” yang artinya ‘jika Allah menghendaki.’ 
  12. Di antara etika seorang murid atau santri di hadapan gurunya adalah menunjukkan sikap sabar dan menaati setiap perintahnya. 
  13. Hadits di atas menunjukkan betapa kecilnya ilmu manusia di hadapan Allah. Di dalamnya disebutkan bahwa Khidir berkata kepada Musa, “Tidaklah ilmuku dan ilmumu di sisi Allah kecuali seperti air laut yang diminum oleh burung itu dengan paruhnya.” 
  14. Hikmah Allah yang ditetapkan bagi para hamba-Nya ternyata tidak terlihat. Baru kemudian, hikmah yang semula dianggap buruk  dan ujian oleh seseorang itu menjadi kenikmatan dan kebaikan. 
  15. Allah mempersiapkan anak yang saleh dengan kesalehan orang tuanya. Dalam kisah di atas, dikatakan bahwa Khidir memperbaiki dinding yang nyaris roboh. Tujuannya untuk melindungi gudang harta yang ditinggalkan kedua orang tua untuk anak-anaknya. 
  16. Kita juga harus selalu menisbahkan kebaikan kepada Allah. Di saat yang sama, kita juga tidak diperkenankan menisbahkan keburukan pada-Nya. 
  17. Kita diperbolehkan melakukan sesuatu yang bahayanya lebih ringan demi menghindari bahaya yang lebih berat. 
  18. Kita tidak dilarang untuk merusak sebagian harta demi menyelamatkan harta yang lebih banyak. 
  19. Saat bepergian, kita disyariatkan untuk membawa perbekalan. Setelah menempuh perjalanan panjang, Musa meminta muridnya untuk mengambil makanan yang dibekalnya. 
  20. Seseorang harus berhati-hati mengingkari pendapat para ahli ilmu dan orang-orang saleh. Berusahalah untuk mencari dasar pandangan dan alasan mereka mengapa bertentangan dengan dugaan orang kebanyakan. (Lihat: Umar Sulaiman, Shahih al-Qashash an-Nabawi, Terbitan: Darun-Nafais, tahun 1997, halaman 75). Wallahu a’lam.

Ja’far bin Abi Thalib

 

Ja’far bin Abi Thalib

Ja’far bin Abi Thalib memiliki nasab Ja’far bin Abi Thalib  bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. abi Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas dan Muhammad bin Abdullah. Ja’far adalah pejuang yang mati syahid di perang Mut’ah. Ja’far dijuluki sang burung surga yang berkicau. Rasulullah juga memberi gelar Ja’far bin Abi Thalib Abul masakin yang artinya bapak orang-orang miskin. Julukan Ja’far bin Abi thalib lainnya adalah Dzul janahain yang artinya pemilik dua sayap. Ja’far bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Dia juga kakak dari khulafaur rasyidin keempat Ali bin Abi Thalib. Ja’far sejak dini diasuh oleh pamannya Abbas hingga ia dewasa, lalu kemudian dia masuk Islam. Ja’far bin Abi thalib  dan istrinya , Asma bin Umais menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Ab Bakar Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al Arqam.  Kabar keislaman Ja’far dan Asma membuat mereka disiksa oleh kaum Quraisy. Namun, mereka tetap berpegang teguh pada agama Allah dan setia menjadi pengikut Rasulullah. Saat Rasulullah mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Habasyah (sekarang Etiopia), Ja’far dan istrinya ikut hijrah dan tinggal di sana selama beberapa tahun.

Ja’far dan istrinya menerima penyiksaan dari kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka mengucapkan kata-kata “Rabbunallaah” (Rab kami hanyalah Allah). Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy. Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib Mereka merasa lega di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan saleh. Sejak mereka masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah. Kepergian Ja’far ke Habasyah, membuat Rasulullah sangat rindu dengan sahabat sekaligus sepupunya itu.

Pada tahun ke tujuh hijrah, kedua Ja’far dan isterinya meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. baru saja pulang dari Khaibar. Hati Rasulullah diliputi kegembiraan karena kedatangan Ja’far. Dia langsung merangkul Ja’far .”Aku tidak tahu dengan yang mana aku lebih bergembira, penaklukan Khaibar atau kedatangan Ja’far,” kata Rasulullah, seperti dikutip dari buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah SAW karya Khalid Muhammad Khalid. Kedatangan Ja’far bin Abi Thalib di Yatsrib juga menjadi kabar gembira bagi kaum muslimin pada umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ja’far sangat penyantun dan banyak membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan hijriah Rasululalh Shallallahu alaihi wassalam. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan. Rasululalh Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.  Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih. Asma’ bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau berkata, “Mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.” Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab, “Ya …, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya, “Wahai Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah Ja’far bagi isterinya.” Kemudian kata beliau selanjutnya, “Aku melihat sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya.”

KISAH NABI ADAM TURUN KE BUMI

 

KISAH NABI ADAM TURUN KE BUMI

        Dalam kitab suci Alquran diceritakan bahwa Allah berbicara dengan malaikat dan memberitahu mereka bahwa Allah SWT akan menciptakan makhluk baru yang disebut manusia. Manusia akan diberi tugas sebagai Khalifah di bumi. Namun, malaikat tidak setuju dan merasa manusia hanya akan membawa kerusakan dan permusuhan di bumi. Malaikat merasa cukup dengan tugas mereka yang senantiasa memuji dan mengagungkan Allah. Namun, Allah menegaskan bahwa Allah SWT mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh malaikat. Menurut Alquran surat As Sajdah ayat 7-9, manusia diciptakan dari saripati tanah, lalu diciptakan keturunannya dari air mani, dan akhirnya Allah meniupkan roh-Nya ke dalam tubuh manusia. Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati kepada manusia. Namun, manusia jarang bersyukur atas nikmat-nikmat ini. Surat ini menceritakan bahwa Allah mengetahui hal yang gaib dan nyata. Dia menciptakan wujud sempurna manusia dari tanah. Dia juga menciptakan keturunan manusia dari air mani. Kemudian ditiupkan roh untuk menghidupkan. Dia juga yang menciptakan pendengaran, penglihatan dan hati.

Allah berbicara dengan malaikat dalam Alquran dan mengatakan bahwa Dia akan menciptakan manusia sebagai Khalifah di bumi. Meskipun malaikat tidak setuju, Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang mengetahui segalanya. Manusia diciptakan dari tanah dan air mani, dan Allah memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati kepada mereka. Namun, manusia jarang bersyukur atas nikmat-nikmat ini. Allah memberikan umur yang panjang kepada Nabi Adam, mungkin sampai 1000 tahun. Namun, menurut hadis dari Abu Hurairah, Nabi Adam memberikan 40 tahun umurnya kepada Nabi Dawud karena kagum dengan cahaya di matanya. Nabi Adam meminta Allah menambahkan 40 tahun umur Nabi Dawud yang dikurangi dari umurnya. Nabi Adam awalnya merasa kesepian di surga dan meminta teman, sehingga Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuknya. Allah memperbolehkan Adam dan Hawa menikmati segala sesuatu di surga kecuali pohon Khuldi.

Pohon Khuldi adalah pohon pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan yang dilarang oleh Allah kepada Adam dan Hawa. Setan memanfaatkan larangan itu untuk menggoda mereka dan memperdaya mereka untuk memakan buah pohon Khuldi. Setan membujuk mereka dengan mengatakan bahwa pohon itu akan memberikan keabadian dan kerajaan yang tak akan pernah binasa. Iblis juga menghasut mereka dengan mengatakan bahwa larangan Allah itu tidak bermaksud membuat mereka kekal, dan akhirnya Adam dan Hawa tergoda untuk memakan buah terlarang tersebut.

Adam dan Hawa tergoda oleh rayuan iblis dan memakan buah Khuldi yang melanggar larangan Allah. Setelah memakan buah tersebut, mereka menyadari bahwa mereka telanjang dan merasakan sakit perut yang hebat. Adam merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa saat merasakan ingin buang hajat karena ia tidak ingin mengotori tempat suci seperti Surga. Allah kemudian mengingatkan Adam tentang larangan-Nya dan peringatan-Nya tentang kebusukan setan. Adam dan Hawa akhirnya memohon ampun dan bertaubat pada Allah. Terdapat pula pandangan bahwa Khuldi adalah pohon apel yang diambil dari bumi dan memiliki sifat dasar tanah yang dianggap sebagai tempat yang pantas untuk membuang kotoran.

Buah Khuldi memiliki daya tarik yang membangkitkan hawa nafsu dan bisa membuat seseorang melupakan diri. Allah melarang Adam untuk memakannya karena akan membuat nafsunya tercemar dan mempengaruhi sifat dasar manusia yang selalu merasa tidak puas. Meskipun demikian, Allah menciptakan pohon Khuldi sebagai cobaan bagi Adam dan Hawa sebagai bentuk ujian ketaatan hamba kepada penciptanya. Manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin di bumi, bukan di surga, dan turunnya Adam dan Hawa ke bumi merupakan bagian dari takdir tersebut. Meskipun mereka telah bertaubat, Allah tetap memberikan hukuman pada mereka dengan turun ke bumi dan hidup sebagai manusia biasa. Adam dan Hawa diturunkan di tempat yang berbeda namun dipertemukan kembali oleh Allah setelah 40 hari di Jabal Rahmah. Mereka memulai kehidupan baru dengan membawa dosa atas ketidaktaatannya di surga, dan Allah memberikan hukuman kepada Adam untuk mencari nafkah dengan bersusah payah.

Hawa dijatuhi hukuman akan merasakan sakit saat melahirkan anak, sedangkan ular yang menggoda mereka dihukum untuk selamanya merayap di bumi. Perbuatan dosa Adam dan Hawa menentukan takdir manusia, di mana kaum laki-laki memiliki tanggung jawab menafkahi dan kaum perempuan memiliki tanggung jawab merawat anak-anak. Adam dan Hawa belajar untuk bercocok tanam dan bertahan hidup di bumi, serta melahirkan anak-anak mereka. Allah menunjukkan kekuasaannya dengan memberi mereka anak-anak kembar setiap kali Hawa hamil. Peristiwa ini mengingatkan manusia bahwa tidak ada kebaikan yang akan diperoleh dari ketidaktaatan pada Allah. Sebagai manusia dan Nabi pertama yang diciptakan oleh Allah, Nabi Adam juga melakukan berbagai dakwah yang dapat dipelajari melalui buku “Manusia & Nabi Pertama di Bumi: Nabi Adam AS.”

Mukjizat dan Kisah Nabi Yusuf

Nabi Yusuf: Cobaan Ketampanan dan Penafsir Mimpi

Nabi Yusuf as merupakan salah satu nabi dari 25 nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Beliau merupakan anak dari Nabi Ya’qub as sekaligus keturunan Nabi Ibrahim as, dari Nabi Ishaq as.

“Seorang yang mulia, anak dari seorang yang mulia, cucu dari seorang yang mulia, cicit dari seorang yang mulia, yaitu Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.” (HR Bukhari dan Ahmad)

Nabi Yusuf termasuk orang yang mulia, bukan hanya karena garis keturunannya, melainkan sifatnya juga dalam menyikapi ujian yang diberikan oleh Allah swt. Nabi Yusuf diperintahkan oleh Allah swt berdakwah untuk bangsa Kan’an dan Firaun di Mesir.

Nabi Yusuf dikaruiai dengan wajah yang tampan yang menjadi salah satu cobaan atau ujian baginya. Saking tampannya, Nabi Yusuf as dijebloskan ke dalam penjara karena membuat majikannya tidak nyaman. Hal ini dikarenakan banyak perempuan Mesir yang mengunjungi rumahnya hanya untuk menyaksikan wajah tampan Nabi Yusuf as. Terdapat kisah terkenal dimana saat itu para wanita Mesir sengaja dikumpulkan oleh Zulaikha (istri Aziz) untuk membuktikan begitu tampannya wajah Nabi Yusuf as yang mana setelah melihatnya, para wanita Mesir tersebut tidak sadar telah mengiris jari tangan mereka sendiri. Ketampanan Nabi Yusuf juga telah diungkapkan oleh Rasulullah SAW yaitu “ketampanan Nabi Yusuf ibarat separuh keindahan seluruh alam semesta, sementara separuhnya lagi dibagikan kepada semua penduduk Bumi”. Ketampanan Nabi Yusuf menjadi cobaan atau ujian baginya karena pernah dituduh melakukan pelecehan terhadap istri seseorang, namun karena Nabi Yusuf as memiliki sifat mulia sehingga terbukti tidak bersalah.

Selain ketampanan, Nabi Yusuf as juga diberikan kemampuan untuk menafsirkan mimpi. Hal ini bermula dengan mimpi Nabi Yusuf as yang melihat sebelas bintang, matahri, dan bulan, yang semuanya sujud kepada Nabi Yusuf  as. mimpi tersebut menjadi pertanda bahwa Allah swt telah menurunkan wahyu kepadanya.  Mimpi tersebut ditafsirkan dimana sebelas bintang adalah sebelas saudaranya, matahari sebagai sang ayah, dan bulan sebagai sang ibu yang mana bersujud padanya berarti patuh. Kemampuan tafsir mimpi Nabi Yusuf  as terkisah saat beliau menafsirkan mimpi dari sang raja.

Sang Raja Mesir yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, tujuh tangkai gandum yang hijau, dan tujuh tangkai lainnya yang kering. Raja Mesir itu lantas memanggil Nabi Yusuf dan memintanya menafsirkan mimpi serba tujuh itu. Jadi, tujuh sapi gemuk mewakili kebaikan dan kesuburan, sedangkan tujuh sapi kurus menandakan keburukan dan kekeringan. Nabi Yusuf memaknainya sebagai tujuh tahun musim panen dan tujuh tahun kekeringan panjang. Sementara itu, biji gandum mewakili hasil pertanian. Menurut Nabi Yusuf, selama tujuh tahun musim panen dan tanah sedang subur, pemerintah dan rakyat perlu berhemat dengan menyimpan sebagian hasil pertanian untuk tujuh tahun berikutnya. Setelahnya, sang raja langsung memerintahkan anak buahnya untuk membuat lumbung. Lumbung tersebut digunakan untuk menyimpan bahan makanan perbekalan yang sekiranya cukup untuk tujuh tahun kemarau panjang seperti yang diramalkan.